ANAK LAKI-LAKI LEBIH AKTIF DARI PADA ANAK PEREMPUAN. MITOS ATAU FAKTA?

Juni 06, 2023 Add Comment

Dalam pengasuhan kadang orang tua menerima bias gender dari lingkungannya. Seperti anak perempuan lebih cepat berbicara sedangkan anak laki-laki lebih lamban. Sebaliknya untuk perkembangan fisik anak laki-laki justru lebih cepat dibandingkan anak perempuan. Dalam permainan pun kadang ditemukan pengelompokan khusus seperti anak laki-laki lebih suka lari-larian atau memanjat. Sedangkan anak perempuan lebih suka main boneka dan bermain masak-masakan.                         

Alasan secara biologis adalah disebabkan anak perempuan yang kurang aktif secara fisik karena alasan kematangan seksual yang terkait usia kronologis anak perempuan lebih awal matang dibadingkan anak laki-laki. Selain itu disebabkan oleh body fat anak perempuan ternyata lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki pada masa sebelum pubertas.

Penelitian yang menarik dari Telford, R, M dkk tahun 2016, yang melakukan studi longitudinal yang menguji apakah anak perempuan kurang aktif dibandingkan anak laki-laki pada usia 8 hingga 12 tahun. Ada beberapa pebandingan aspek pengukuran dalam penelitian ini yang menjadi highlight beserta hasilnya. Berikut ini penjelesan :

✅ Cardio respiratory fitness, yang diukur dengan waktu berlari hasilnya anak laki-laki lebih banyak berlari dibandingkan anak perempuan.

✅ Physical activity (steps/day), anak laki-laki lebih banyak berjalan.

  Eye hand coordination, yang diukur jumlah menangkap bola, hasilnya juga anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.

✅ Perceived competence in PA (physical activity), anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan lebih rendah keterlibatannya dalam kegiatan olahraga ekstrakurikuler.

 

Pengukuran aspek-aspek diatas ternyata tidak begitu berbeda dengan kata lain bertahan hingga anak berusia 12 tahun. Uniknya pada usia 12 tahun dukungan orangtua dalam kegiatan aktivitas fisik lebih tinggi anak laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan keterlibatan anak laki-laki dalam kegiatan jasmani lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.

Tingginya aktivitas fisik anak laki-laki berkaitan dengan persepsi akan kemampuannya untuk terlibat yang juga tinggi dibandingkan anak perempuan. Sehingga membuat dukungan orang tua pada saat anak berusia 12 tahun pun juga lebih tinggi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Penelitian ini memperlihatkan rendahnya aktifitas fisik anak perempuan dibandingkan anak laki-laki disebabkan oleh rendahnya minat anak perempuan (persepsi kemampuan melakukan kegiatan aktivitas fisik) terlibat dalam kegiatan olahraga baik di komunitas atau disekolah yang berefek rendahnya dukungan keluarga dan sekolah, sehingga ini membuat anak perempuan kurang aktif dibandingkan anak laki-laki.

Sekolah sebagai tempat anak mendapat pendidikan jasmani perlu mempertimbangkan apakah anak laki-laki dan anak perempuan dicampur bersama, mengingat  karena kegiatan yang berfokus pada kinerja fisik cenderung mendukung anak laki-laki dibandingkan anak perempuan bahkan sebelum masa pubertas berlangsung.

Dari penelitian ini kita belajar bahwa jangan-jangan bukan anak perempuan yang kurang aktif tetapi anak perempuan yang kurang mendapatkan kesempatan dan dukungan yang setara dalam aktivitas fisik. Oleh karenanya pada beberapa kondisi kita perlu memodifikasi lingkungan dengan tidak menggabungkan antara anak laki-laki dan perempuan dalam aktivitas fisik untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi anak perempuan dalam kegiatan fisik/olahraga jasmani. 

Jika ingin menggabungkan kegiatan fisik antara laki-laki dan perempuan perlu dilakukan penyeleksian minat dan tingkat kemampuan sehingga tidak ada lagi persepsi bagi anak perempuan bahwa mereka tidak mampu melakukan kegiatan fisik.

 

 Sumber:

Telford RM, Telford RD, Olive LS, Cochrane T, Davey R. (2016). Why are girls less physically active than boys?. findings from the look longitudinal study. PLoS ONE 11(3): e0150041. doi:10.1371/journal.pone.0150041


Orang Tua yang Tidak Cerdas Emosi Telah Menghancurkan Kebahagiaan Anak

Mei 22, 2023 Add Comment


Anak usia dini yang berusia 0-6 tahun berada pada periode perkembangan usia emas. Pada usia tersebut otak dan aspek perkembangan akan tumbuh dan berkembang dengan cepat dalam sejarah kehidupan anak. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian anak. Cara orang tua mengasuh anak-anaknya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pola asuh orang tua terdahulu terdahulu, adat istiadat, budaya, agama, pendidikan dan pengetahuan orang tua itu sendiri.

Kenyataan yang masih kita temukan di masyarakat adalah masih ditemukan orang tua yang belum cerdas secara emosi. Belum dapat mengendalikan rasa marah, rendahnya kontrol diri dan kurangnya kesadaran akan perkembangan emosi anak. Orang tua masih melakukan hukuman fisik, kekerasan verbal yang menyakiti perasaan anak dan pengabaian kebutuhan anak.

Ada 2 macam bentuk kekerasan. Kekerasan verbal seperti mengancam, menakut-nakuti, menghina dll. Kekerasan fisik seperti mencubit, memukul area tubuh tertentu baik dengan tangan atau alat-alat tertentu masih sering kita temua di masyarakat. Padahal efek dari kekerasan tersebut bukan hanya merusak otak anak namun juga masalah perilaku dan emosi bagi anak dikemudian hari.

Perilaku tersebut diatas mencerminkan bahwa orang tua masih belum memiliki kecerdasan emosi. Orang tua yang cerdas emosi (emotional equation) adalah seseorang yang memiliki kecakapan emosi meliputi:

-          Mampu mengenali emosi diri

-          Mampu mengelola Emosi

-          Mampu memotivasi diri sendiri

-          Mengenali perasaan orang lain

-          Mampu menjalin hubungan yang positif

Tidak ada orang tua yang sempurna dimuka bumi ini. Dibutuhkan orang tua yang sadar akan kesehatan mental anak. Orang tua harus mengupayakan kebahagian psikologis anak dan minim trauma masa kecil. Salah satu cara melatih agar orang tua cerdas secara emosi adalah dengan memberikan program pelatihan pengasuhan positif.

Pola asuh positif adalah hubungan yang berkesinambungan antara orang tua dan anak seperti mengasuh, mengajar, memimpin, mengkomunikasikan, dan menyediakan kebutuhan anak secara konsisten dan tanpa syarat. Pengasuhan positif adalah orang tua yang paham tentang tumbuh kembang anak, mampu melakukan komunikasi yang efektif dengan anak, menerapkan disiplin yang positif dan mampu mengontrol rasa marah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati & Roshita (2019) memperlihatkan bahwa orang tua yang sudah mendapatkan program pelatihan positif parenting lebih cerdas secara emosi dibandingkan orang tua yang tidak mendapatkan pelatihan. Dalam eksperimennya orang tua diberikan kesempatan untuk melihat, mendengar, mengeskpresikan dan mendiskusikan pengalaman selama mengasuh anak. Orang tua diberikan kesempatan satu persatu untuk mempraktekkan pengasuhan positif didepan kelas. Diakhir pelatihan orang tua diminta untuk menyimpulkan materi pelatihan pengasuhan positif. Untuk memonitor efektifitas pelatihan orang tua diminta untuk membuat jurnal penerapan positif parenting.

Setelah mengikuti pelatihan orang tua merasa lebih bisa mengontrol emosi ketika marah, empatinya meningkat, paham kapan harus tegas dan tidak kepada anak, hubungan anak-orang tua menjadi lebih sehat, dan ayah pun ikut terlibat dalam mengasuh anak. Pelatihan positif parenting ini memberikan kesempatan kepada orang tua menyadari akan pola asuhnya, sehingga mereka lebih sadar, menerima dan memperbaiki diri.

Jika kita bandingkan di zaman dahulu, ilmu parenting sangat terbatas. Namun di era digital ini dengan tsunami informasi yang ada dimedia sosial, maka tentunya sudah menjadi kewajiban orang tua untuk belajar dan meng-upgrade diri tentang ilmu pengasuhan. Prinsip mengasuh anak harus sesuai zamannya. Tanyakan juga perspektif anak tentang pengsuhan yang sudah dilakukan. Jika orang tua tetap bertahan dengan pengasuhan yang sudah jelas berdampak buruk bagi perkembangan anak. Hasilkan akan orang tua petik sendiri ketika mereka besar nanti, apakah anak-anak hangat kepada orang tua atau justru sebaliknya.

Jika orang tua memiliki keterbatan waktu, biaya dan kesempatan untuk mendapatkan program pengasuhan secara offline. Sudah banyak ilmu parenting di media sosial. Salah satunya ayah bunda bisa belajar di Youtube Yuni Kartika Channel yang merupakan sarjana dan magister Psikologi Sains.

 

Sumber:

Nurhayati, S., Rosita, T. (2019). Positive parenting training program implementation to increase parent’s emotional intelligence in raising well being children. Proceedings of the 1st in ternational Conference on Early Childhood Care Education and Parenting (ICECCEP 2019), 65-69

 



Apakah Orang Kreatif adalah Orang yang Cerdas?

Mei 05, 2023 Add Comment

The Global Creativity Index (GCI)  yang dilakukan Martin Prosperity Institute pada tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 139 negara yang diteliti Indonesia berada diperingkat ke- 115. Padahal kreativitas merupakan psychological trait yang amat penting untuk terciptanya karya kreatif, karakter positif individu, sebagai modal daya saing manusia dan sebagai keterampilan hidup sehari-hari. Salah satu faktor penting yang berperan dalam kreativitas adalah Kecerdasan (Intelligence), yang merupakan salah satu kemampuan individu yang menjadi pondasi penting untuk pengembangan kemampuan berpikir kreatif.
 
Otak adalah karunia dari Tuhan YME yang patut kita syukuri. Semua perilaku kita hampir semuanya di atur oleh otak. Otak mengirimkan sinyal keseluruh tubuh yang membuat kita bisa berkedip, berjalan, tidur dll. Kecerdasan adalah salah satu bentuk dari hebatnya kemampuan berpikir dari otak manusia. 

Kecerdasan memang bukan sebagai penentu seseorang sukses dimasa depan, namu orang yang sukses membutuhkan kecerdasan yang cukup untuk memproses informasi yang datang ke otaknya. Di dalam kecerdasan setidaknya terdapat 3 fungsi mental yaitu kecepatan pemprosesan informasi, penyelesaian masalah dan penalaran abstrak. Sedihnya, fakta menunjukkan bahwa Indonesia hanya menduduki peringkat peringkat 130 dari 199 negara dalam tingkat kecerdasan berdasarkan World Population Review tahun 2022.
 
Survey tingkat kreativitas dan intelegensi Indonesia sama-sama berada pada posisi rendah. Kenapa bisa demikian karena ternyata integensi memberikan peran terhadap kreativitas manusia. Seberapa penting kecerdasan supaya bisa jadi orang kreatif?
 
Sebuah studi yang dilakukan oleh Akhtar & Kartika (2019) menunjukkan bahwa Inteligensi memberikan sumbangan sekitar 10,5% terhadap kreativitas manusia. Artinya orang kreatif adalah betul orang yang cerdas. Namun tidak semua orang kreatif adalah orang jenius.  Maksudnya bagaimana?
 
Ada sebuat teori yang dikenal dengan teori ambang batas (Threshold Theory). Threshold theory berpendapat bahwa kemampuan intelektual merupakan syarat yang diperlukan untuk menjadi kreatif. 
Kecerdasan di atas rata-rata dianggap sebagai kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menghasilkan kreativitas yang tinggi. Lebih khusus lagi, diasumsikan bahwa ada ambang kecerdasan yang biasanya ditetapkan pada IQ 120. 

Teori ambang memprediksi bahwa ada korelasi antara kreativitas dan inteligensi pada kelompok sampel IQ rendah sampai rata-rata, sedangkan tidak ada korelasi antara kreativitas dan inteligensi pada kelompok sampel IQ tinggi. Orang dengan kecerdasan di bawah kecerdasan rata-rata memiliki sedikit peluang untuk menjadi sangat kreatif; mereka yang memiliki kecerdasan di atas ambang batas mungkin memiliki potensi kreativitas yang tinggi tetapi tidak terkait dengan tingkat IQ mereka.

Temuan penelitian Akhtar & Kartika (2019) ini mendukung teori ambang batas (threshold theory) yang menyimpulkan bahwa untuk menjadi orang yang kreatif tidak dibutuhkan IQ yang mencapai level sangat genius. Namun untuk menjadi orang kreatif dibutuhkan tingkat inteligensi yang berada pada ambang batas sebagai modal untuk melakukan sesuatu. Terlebih lagi, Akhtar dan Kartika menemukan ambang batas IQ yang diperlukan adalah 106, bukan 120 seperti hipotesis awal teori ini. Ketika seseorang sudah mencapai pada level IQ tertentu, peningkatkan inteligensi tidak begitu berperan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
 
Ternyata orang-orang dengan skor kreativitas tinggi tidak semuamya memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Namun, untuk menjadi orang kreatif kita butuh kecerdasan yang mencapai ambang batas. Setiap manusia mempunyai batas maksimal kecerdasannya. Batas maksimal skor inteligensi seseorang didapatkan dari gabungan fluid intelligence  dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan bawaan sedangkan crystallized intelligence adalah kecerdasan yang didapatkan dari proses belajar dan keterampilan yang diperoleh seumur hidup. Oleh karena itu bagi orang tua perlu mengoptimalkan perkembangan kognitif anak sejak dini dengan berbagai stimulasi dimasa golden age sebagai modal untuk sukses menghadapi tantangan dimasa depan.
 
Akhtar, H., & Kartika, Y. (2019.). Intelligence and creativity: an investigation of threshold theory and its implications. Journal of Educational Science and Psychology, 9(1), 131-138.

Bangkit dari Pengalaman Traumatis Pasca Perceraian dan Kehilangan Orang tua

April 18, 2023 Add Comment

  

Memiliki orang tua yang utuh dan harmonis adalah impian semua anak. Kenyataannya tidak semua anak memperoleh keberuntungan tersebut. Perceraian orang tua saja sudah memberikan pengalaman traumatis bagi anak. Apalagi kehilangan orang tua untuk selama-lamanya tentunya memberikan tambahan luka batin bagi anak. 

Anak dengan korban perceraian dan kematian kedua orang tua akan mengalami kesepian, kurangnya kasih sayang, rendahnya harga diri, sulit percaya dengan orang lain dan masalah ekonomi. Apalagi pasca kejadian traumatis tersebut anak dititipkan pada keluarga dengan menerapkan pola asuh Authoritaran (Otoriter) yang kerap melakukan kekerasan baik fisik maupun Psikologis. Maka sangatlah besar kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku karena anak kehilangan figure penting dalam hidupnya.

Bukan berarti dengan pengalaman traumatis tersebut anak kehilangan harapan untuk membangun masa depannya. Lalu berlarut menikmati kesedihan yang sulit untuk dihilangkan. Dibutuhkan suatu kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri setelah kejadian trauma yang menimpanya. Pengalaman traumatis dapat memicu munculnya masalah psikologi seperti depresi dikemudian hari.

Sebuah Artikel Penelitian yang dilakukan oleh Yuni Kartika tahun 2017 yang diterbitkan oleh International E-Journal of Advances in Social Sciences, bahwa Resiliensi menjadi modal Psikologis bagi seseorang yang telah mengalami kejadian traumatis. Ketahanan hidup (resilience) menjadi konsep positif yang meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi kejadian-kejadian negatif yang dialami dalam hidupnya. Resiliensi merupakan kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau kejadian trauma.

Resiliensi adalah konsep psikologis yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk membangunnya dalam diri. Setidaknya ada 7 skill yang menyertainya, yaitu
1. Kemampuan meregulasi emosi,
2. Pengendalian impuls
3. Optimis
4. Kemampuan menganalisis penyebab masalah
5. Empati
6. Self efficy, yaitu percaya pada kemampuan diri sendiri untuk memecahkan masalah secara efektif
7. Reaching Out, merupakan kemampuan seseorang untuk membentuk suatu hubungan dengan orang lain dalam rangka membantu dalam meyelesaikan masalah.

Resiliensi bisa dibangun dan dilatih. Dibutuhkan rasa penerimaan, keyakinan dan lingkungan yang positif yang mendukung untuk bangkit dari kejadian traumatis tersebut.

Kegiatan positif yang bisa membantu seseorang  bangkit dan menerima kejadian traumatis dalam hidup adalah terlibat dalam kegiatan sosial. Seperti relawan mengajar, pengabdian masyarakat, relawan kebencanaan, mengikuti acara keagamaan dll. Kegiatan ini membantu seseorang berinteraksi dengan banyak orang dan mengamati kejadian hidup diluar dari dirinya sebagai refleksikan hidup.

Dengan megikuti kegiatan sosial juga dapat menghilangkan rasa kesepian dan membangun relasi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat. Kemampuan menemukan seseorang yang tepat dalam menyelesaikan masalah (reaching out) juga dapat dijembatani dengan kegiatan-kegiatan sosial ini. Dengan mengikuti banyak kegiatan sosial yang positif mampu memberikan energi positi agar fokus dalam menciptakan prestasi.
 
Sumber

Kartika, Y. (2017). Resilience: phenomenological study on the child of parental divorce and the death of parents.  IJASOS- International E-Journal of Advances in Social Sciences 3( 9),1035-1042.

Laki-laki Menilai Dirinya Lebih Cerdas Dibandingkan Perempuan

April 13, 2023 Add Comment


Laporan diri mengenai inteligensi menjadi bahasan yang cukup penting karena menggambarkan kesadaran diri dan berperan dalam kesuksesan individu. Berbeda dengan inteligensi psikometrik yang diukur dengan tes objektif, laporan diri mengenai inteligensi lebih bersifat subjektif yang merupakan persepsi individu terhadap kemampuan kognitif yang dimilikinya. Sudah lebih dari 40 tahun topik ini masih dibahas oleh para peneliti. Secara umum, laki-laki menilai dirinya memiliki inteligensi umum yang lebih tinggi dibanding perempuan. Namun apakah temuan itu masih relevan?

Inteligensi saat ini lebih dilihat secara multidimensi. Dia tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki beberapa jenis. Selain itu, kondisi masyarakat saat ini juga sudah sangat berbeda dibanding 40 tahun yang lalu, dimana sekarang perempuan jauh lebih mudah untuk memperoleh akses pendidikan. Oleh karenanya, Akhtar dan Silfiasari (2022) melakukan sebuah studi pada 869 mahasiswa di Indonesia untuk melihat apakah ada perbedaan dalam laporan diri mengenai inteligensi antara laki-laki dan perempuan. Penilaian tidak hanya dilakukan pada inteligensi umum saja, namun juga pada kemampuan yang lebih spesifik, seperti penalaran fluida (fluid reasoning), ingatan kerja (short-term working memory), ingatan jangka Panjang (long-term memory), pemahaman pengetahuan (comprehension knowledge), kecepatan pemprosesan (processing speed), dan pemrosesan visual (visual processing).

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa secara umum, laki-laki menilai dirinya memiliki inteligensi yang lebih tinggi dibanding perempuan. Namun perbedaan ini tidak berlaku bagi semua kemampuan yang lebih spesifik. Laki-laki menilai dirinya memiliki kemampuan penalaran dan pemrosesan visual yang lebih baik dibanding perempuan. Namun dalam hal ingatan kerja, ingatan jangka Panjang, kecepatan pemrosesan, dan pemahaman pengetahuan, tidak ditemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Temuan ini menegaskan temuan-temuan sebelumnya, dan berlaku universal baik di negara Barat maupun Timur.

Temuan ini menegaskan asumsi di masyarakat bahwa inteligensi erat kaitannya dengan maskulinitas. Laki-laki menilai dirinya lebih baik dalam hal penalaran dan pemrosesan visual karena dua kemampuan ini erat kaitannya dengan inteligensi umum. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pekerjaan tertentu yang mengandalkan penalaran dan kemampuan spasial (misalnya sopir, pilot, insinyur) didominasi oleh laki-laki di Indonesia. Meskipun akses ke pendidikan sekarang sudah relatif setara untuk laki-laki dan perempuan, namun dalam hal penilaian subjektif mengenai kecerdasan, laki-laki masih dinilai lebih cerdas dibanding perempuan.

Referensi
Akhtar, H., & Silfiasari. (2022). A brief measure of self-reported cognitive abilities: Are males and females different?. Testing, Psychometrics, Methodology in Applied Psychology. 29(4), 475-493. https://doi.org/10.4473/TPM29.4.6

Urutan Penyajian Tes Mempengaruhi Respon Asal-asalan dari Responden Penelitian

April 12, 2023 Add Comment
Survei online saat ini menjadi metode pengambilan data yang paling popular dalam riset Psikologi. Dengan survei online, peneliti dapat memperoleh ratusan bahkan ribuan data dari berbagai wilayah di Indonesia dalam waktu singkat. Sayangnya, banyak ahli yang juga meragukan kualitas data yang diperoleh dari survei online. Ketika tidak ada konsekuensi pribadi bagi responden, sangat masuk akal untuk berasumsi bahwa beberapa responden akan menjawab dengan asal-asalan. Hal ini diperparah ketika survei dilakukan secara anonim dan tanpa adanya reward yang sepadan bagi waktu yang sudah diluangkan oleh mereka. Hal ini tentu mengancam validitas hasil pengukuran yang dilakukan.

Instrumen dalam Psikologi secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis: tes kognitif dan non-kognitif. Tes kognitif biasanya dinilai dengan jawaban benar-salah (misal: tes kecerdasan), namun tidak demikian dengan tes non-kognitif (misal: tes kepribadian). Dalam konteks tes beresiko tinggi (misal: seleksi karyawan), kecurangan menjadi ancaman utama dalam tes kognitif, sementara respon tidak jujur (faking) menjadi ancaman utama dalam tes non-kognitif. Namun, dalam konteks survei online, keduanya memiliki ancaman yang sama, yakni adanya respon asal-asalan.

Kedua jenis tes ini memiliki karakteristik yang berbeda. Mengerjakan tes kognitif tentu lebih menguras waktu dan energi. Ketika survei melibatkan dua jenis tes ini, tes mana yang harus disajikan terlebih dahulu agar memaksimalkan usaha responden dalam menjawab pertanyaan? Dalam konteks tes beresiko tinggi, praktek yang paling umum adalah menyajikan tes kognitif terlebih dahulu. Namun, dalam tes beresiko tinggi, motivasi peserta tes tidak perlu dipertanyakan. Mereka pasti mengerahkan usaha maksimal karena ada hal yang dipertaruhkan. Dalam survei online, tidak ada resiko apapun bagi responden, bahkan identitas pribadi mereka seringkali tidak direkam. Lalu, apakah praktek yang sama juga cocok diterapkan pada survei online?

Akhtar dan Kovacs (2023) mencoba menjawab pertanyaan ini melalui risetnya. Mereka menguji mahasiswa dalam studi eksperimen online. Peserta secara acak ditempatkan ke salah satu dari dua kondisi: (a) tes kognitif disajikan terlebih dahulu, dan (b) tes non-kognitif disajikan terlebih dahulu. Pada masing-masing kondisi, usaha mereka dalam menjawab pertanyaan diukur dengan dua alat ukur: self-reported effort (SRE) dan response-time effort (RTE). Self-report merupakan laporan diri dari responded tentang seberapa besar usaha yang mereka kerahkan untuk menjawab pertanyaan survei. Sementara RTE merupakan alat ukur berbasis waktu. RTE didasarkan atas hipotesis yang menyatakan bahwa responden yang mengerjakan asal-asalan akan menjawab pertanyaan terlalu cepat, di bawah waktu yang wajar untuk mereka bisa membaca dan memahami soal.

Hasil analisis menunjukkan bahwa urutan penyajian tes mempengaruhi usaha responden dalam menjawab pertanyaan survei. Ketika tes non-kognitif disajikan di awal, usaha responden untuk menjawab pertanyaan lebih tinggi secara signifikan daripada ketika tes ini di sajikan di akhir. Sementara untuk tes kognitif, urutan penyajian tidak berpengaruh. Usaha yang dikerahkan responden untuk mengerjakan tes kognitif sama saja saat tes ini disajikan di awal ataupun di akhir. Begitu pula performa tesnya. Kesimpulan yang sama berlaku pada self-report maupun response time effort. Di saat bersamaan, respon menjawab asal-asalan meningkat seiring tes berjalan. Tes atau item yang disajikan di akhir cenderung dijawab secara asal-asalan.


Penelitian ini memberikan implikasi bagi praktik pengambilan data secara online. Jika ada dua jenis tes digunakan, sajikan dulu tes non-kognitif. Menyajikan tes yang “lebih ringan” duluan nyatanya berdampak positif bagi motivasi responden untuk menyelesaikan survei. Sebaliknya, jika responden belum apa-apa sudah menghadapi tes yang sulit, mereka cenderung mengerjakan asal-asalan di tes berikutnya, atau bahkan tidak melanjutkan mengisi survei. Implikasi lainnya berkaitan dengan urutan penyajian item. Item yang disajikan di akhir cenderung dijawab secara asal-asalan. Oleh karena itu, jika pengambilan data dilakukan untuk melihat parameter item (misal: tingkat kesulitan item), maka lebih baik penyajian itemnya dilakukan secara random. Kalau tidak, maka parameter item yang disajikan di akhir akan bias. Item yang disajikan di akhir akan diestimasi sebagai item sulit karena sebagian responden menjawab asal-asalan, yang menyebabkan banyaknya jawaban yang salah.

Sumber
Akhtar, H., & Kovacs, K. (2023). Which tests should be administered first, ability or non-ability? The effect of test order on careless responding. Personality and Individual Differences, 207, 112157. https://doi.org/10.1016/j.paid.2023.112157

Apakah Computerized Adaptive Testing Memberikan Pengalaman Tes yang Lebih Baik daripada Tes Konvensional?

April 12, 2023 Add Comment


Computerized Adaptive Testing (CAT) merupakan pengembangan lanjutan dari tes berbasis komputer dengan menyesuaikan tingkat kesulitan soal berdasarkan kemampuan peserta tes. Sistem CAT menggunakan algoritma untuk menentukan soal selanjutnya yang akan disajikan kepada peserta tes berdasarkan jawaban mereka pada soal sebelumnya. Jika peserta tes menjawab benar, maka soal berikutnya akan lebih sulit. Sebaliknya, jika peserta tes menjawab salah, maka soal berikutnya akan lebih mudah. Dengan demikian, orang dengan kemampuan tinggi akan mendapat soal yang lebih sulit daripada orang dengan kemampuan rendah.

CAT mempunyai beberapa keuntungan, salah satunya adalah mempercepat waktu tes dan membuat tes menjadi lebih efisien. Dalam CAT, peserta hanya mengerjakan soal yang tepat untuk kemampuannya. Hal ini memungkinkan tes selesai dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan metode tes konvensional, di mana semua peserta menjawab serangkaian soal yang sama. Selain itu, CAT juga memberikan hasil yang lebih akurat. Tes ini juga lebih aman dari praktik kecurangan, karena tiap peserta akan menghadapi soal yang berbeda-beda.

Dari aspek teknis-psikometris, tidak diragukan lagi, CAT memberikan keunggulan lebih dibandingkan tes konvensional. Namun bagaimana dengan aspek psikologis dari peserta yang dites dengan CAT? Apakah mereka merasakan hal yang sama dengan saat dites dengan model tes konvesional? Pertanyaan ini coba dijawab oleh Akhtar dan kolega (2022) dengan melalukan studi meta-analisis pada artikel yang membahas perbandingan CAT dan tes konvensional dari sisi psikologis peserta tes.

Studi awal tentang CAT banyak yang mengklaim bahwa CAT dapat memberikan pengalaman tes yang lebih baik. Alasannya, karena peserta tes hanya diberikan soal yang sesuai kemampuan mereka, maka peserta tes dengan kemampuan rendah tidak akan frustrasi mengerjakan soal yang terlalu sulit bagi mereka. Sebaliknya, peserta dengan kemampuan tinggi tidak akan bosan menjawab soal yang terlalu mudah bagi mereka. Namun kenyataannya, klaim ini tidak disertasi bukti yang kuat di lapangan. Nyatanya banyak peserta yang mengeluhkan beberapa fitur CAT. Misalnya, karena skoring di CAT berlangsung secara real time, peserta tidak dapat melompati soal ataupun mengganti jawaban yang sudah dikerjakan sebelumnya. Hal ini dapat meningkatkan kecemasan peserta tes. Karena ada banyak temuan yang beragam di lapangan, Akhtar dan kolega mencoba mengumpulkan dan menganalisisnya untuk menjawab pertanyaan, apakah CAT benar-benar memberikan pengalaman yang lebih baik bagi peserta tes?

Secara mengejutkan, artikel yang memuat perbandingan psikologis antara CAT dan tes konvensional tidak banyak ditemukan. Dari lima database pengindeks artikel ilmiah, Akhtar dan kolega hanya menemukan 12 artikel yang relevan dengan tujuan analisis mereka. Akhtar fokus pada motivasi dan kecemasan peserta ketika dites menggunakan CAT dan tes konvensional. Hasilnya beragam, beberapa artikel menunjukkan CAT dapat meningkatkan motivasi dan menurunkan kecemasan, namun beberapa menemukan hal yang sebaliknya. Secara umum, hasil meta-analisis menunjukkan bahwa pengalaman peserta ketika dites dengan CAT dan tes konvesional tidak berbeda.

Analisis lebih mendalam dilakukan pada pengaturan CAT masing-masing studi. Ternyata ditemukan bahwa modifikasi algoritma pada CAT dapat meningkatkan pengalaman peserta tes. Dua studi menggunakan “easier CAT”, yakni CAT yang menargetkan soal yang disajikan sedikit lebih mudah daripada kemampuan peserta tes. Tingkat kesulitan soal dan kemampuan peserta biasanya dinyatakan dalam satuan logit dengan kisaran antara -3 sampai +3. Dengan easier CAT, misalkan, kemampuan peserta tes yang diestimasi adalah 1, maka soal yang dijasikan sedikit lebih rendah, katakanlah 0,5. Dengan demikian, peluang mereka untuk menjawab benar akan menjadi lebih tinggi.

Secara umum, meskipun bukti di lapangan menunjukkan bahwa pengalaman peserta tes tidak berbeda di CAT, masih banyak pengembangan yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan pengalaman tes. Dan karena pengalaman peserta tes sesungguhnya tidak berbeda, maka tidak ada alasan untuk menolak beralih dari tes konvensional ke CAT. Hal ini karena CAT sudah jelas terbukti memberikan keunggulan psikometris dan teknis dibanding tes konvensional.

Referensi:
Akhtar, H., Silfiasari, Vekety, B., & Kovacs, K. (2022). The Effect of Computerized Adaptive Testing on Motivation and Anxiety: A Systematic Review and Meta-Analysis. Assessment. https://doi.org/10.1177/10731911221100995