Memiliki
orang tua yang utuh dan harmonis adalah impian semua anak. Kenyataannya tidak
semua anak memperoleh keberuntungan tersebut. Perceraian orang tua saja sudah
memberikan pengalaman traumatis bagi anak. Apalagi kehilangan orang tua untuk selama-lamanya tentunya memberikan tambahan luka batin bagi anak.
Anak dengan
korban perceraian dan kematian kedua orang tua akan mengalami kesepian, kurangnya
kasih sayang, rendahnya harga diri, sulit percaya dengan orang lain dan masalah
ekonomi. Apalagi pasca kejadian traumatis tersebut anak dititipkan pada
keluarga dengan menerapkan pola asuh Authoritaran (Otoriter) yang kerap
melakukan kekerasan baik fisik maupun Psikologis. Maka sangatlah besar kemungkinan
terjadinya penyimpangan perilaku karena anak kehilangan figure penting dalam hidupnya.
Bukan
berarti dengan pengalaman traumatis tersebut anak kehilangan harapan untuk
membangun masa depannya. Lalu berlarut menikmati kesedihan yang
sulit untuk dihilangkan. Dibutuhkan suatu kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri setelah kejadian
trauma yang menimpanya. Pengalaman traumatis dapat memicu munculnya masalah
psikologi seperti depresi dikemudian hari.
Sebuah
Artikel Penelitian yang dilakukan oleh Yuni Kartika tahun 2017 yang diterbitkan
oleh International E-Journal of
Advances in Social Sciences, bahwa Resiliensi
menjadi modal Psikologis bagi seseorang yang telah mengalami kejadian
traumatis. Ketahanan hidup (resilience) menjadi
konsep positif yang meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi
kejadian-kejadian negatif yang dialami dalam hidupnya. Resiliensi merupakan kapasitas untuk merespon
secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau kejadian trauma.
Resiliensi adalah konsep psikologis yang sangat kompleks dan tidak mudah
untuk membangunnya dalam diri. Setidaknya ada 7 skill yang menyertainya,
yaitu
1. Kemampuan meregulasi emosi,
2. Pengendalian impuls
3. Optimis
4. Kemampuan menganalisis penyebab masalah
5. Empati
6. Self efficy, yaitu percaya pada kemampuan diri sendiri untuk
memecahkan masalah secara efektif
7. Reaching Out, merupakan
kemampuan seseorang untuk membentuk suatu hubungan dengan orang lain dalam
rangka membantu dalam meyelesaikan masalah.
Resiliensi bisa dibangun dan dilatih. Dibutuhkan rasa penerimaan, keyakinan dan lingkungan yang positif yang mendukung
untuk bangkit dari kejadian traumatis tersebut.
Kegiatan
positif yang bisa membantu seseorang bangkit dan menerima kejadian traumatis dalam
hidup adalah terlibat dalam kegiatan sosial. Seperti relawan mengajar,
pengabdian masyarakat, relawan kebencanaan, mengikuti acara keagamaan dll. Kegiatan
ini membantu seseorang berinteraksi dengan banyak orang dan mengamati kejadian hidup
diluar dari dirinya sebagai refleksikan hidup.
Dengan
megikuti kegiatan sosial juga dapat menghilangkan rasa kesepian dan
membangun relasi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat. Kemampuan
menemukan seseorang yang tepat dalam menyelesaikan masalah
(reaching out) juga dapat dijembatani dengan kegiatan-kegiatan sosial ini. Dengan
mengikuti banyak kegiatan sosial yang positif mampu memberikan energi positi agar fokus dalam menciptakan prestasi.
Sumber:
Kartika, Y. (2017). Resilience: phenomenological study on the child of parental divorce and
the death of parents. IJASOS- International E-Journal of Advances in Social
Sciences 3( 9),1035-1042.
0 Komentar