Banyak Orang Tua Salah! Ini Cara Memberi Hukuman Tanpa Trauma

Juli 14, 2025 Add Comment


Penulis : Yuni Kartika, S.Psi., M.A




Didalam ilmu Psikologi kita mengenal teori Reinforcement yang dipopulerkan oleh B.F Skinner. Didalam keseharian masyarakat mengenalnya dengan reward dan punishment, merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mendisiplinkan perilaku anak. Ketika anak melakukan perbuatan yang diharapkan maka diberikan hadiah (reward), namun jika anak melakukan perilaku yang tidak diharapkan maka diberikan hukuman (punishment).

Kali ini saya ingin fokus membahas tentang metode punishment saja. Pemberian hukuman kepada anak kerap mengundang kontroversi di masyarakat. Sebut saja hukuman fisik, di suatu daerah dengan budaya tertentu orang tua yang memberikan hukuman fisik sudah dianggap hal yang lumrah. Namun di lain daerah jangankan hukuman fisik, membentak saja bisa di lapor ke polisi.

Seringkali orang tua bereksperimen dengan berbagai metode untuk mendisiplinkan perilaku anak. Tentunya hukuman fisik dan verbal sedikit banyak pernah diberikan. Namun benarkan kita sebagai orang tua tidak boleh memberikan hukuman ?

Yang harus dipahami adalah pemberian hukuman ini adalah cara terakhir yang diberikan Ketika semua metode sudah diberikan kepada anak. Kenapa pada akhirnya harus diberikan hukuman? Supaya dengan merasakan pedihnya hukuman anak bisa menyadari nilai kasih sayang diberikan orang tuanya sebelum dia dihukum. Hukuman juga mengajarkan anak pentingnya menjadi anak yang patuh atau ta’at.

Kita pahami terlebih dahulu makna hukuman, yaitu anak dihukum karena pendidikan bukan siksaan. Kita temukan bahwa ada anak yang bisa menerima pengajaran ada yang tidak. Ada anak pemalu, ada juga yang tidak malu-malu. Ada anak yang giat belajar, ada juga yang malas dan tidak suka belajar. Ada anak yang semangat belajar jika dipuji, ada juga yang mau belajar setelah di hardik oleh orang tua/guru. Orang yang memiliki perilaku yang buruk karena semasa kecilnya dilalaikan sehingga melakukan hal yang buruk adalah sebuah kebiasaan. Oleh karena itu penting sekali mendidik dan mengajak anak sewaktu mereka masih kecil. Karena anak kecil masih mudah diarahkan, menerima dan dipimpin.

Jika kita mendapati perilaku anak yang tidak baik  terlebih dahulu kita koreksi pemahamannya. Nabi mengajarkan untuk menggunakan menyampaian yang lemah lembut dengan menggunakan panggilan terbaik untuk anak. Selain itu anak juga diajak berdialog untuk mengokreksi pemahamannya yang keliru dan memberikan penjelasan atas perilaku anak. Selanjutnya kita bisa mengoreksi kesalahan anak dengan memberikan contoh. Mengajarkan berbicara sopan maka terlebih dahulu orang tualah yang mencontohkan berbicara sopan ke anak.

Jika cara lemah-lembuh sudah diberikan namun anak terus mengulang kesalahan yang sama maka dia harus dihukum. Menghukum anak harus dengan pedoman dan tahapan. Berikut saya rangkum dari buku Prophetic Parenting : Cara Nabi mendidik anak. 

1. Tahap pertama: perlihatkan hukuman itu didepan anak. Didalam buku tersebut menyebutkan “cambuk/tongkat”. Cukup dengan melihatkan untuk mengoreksi kesalahan anak. Dalam Riwayat Bukhari bahwasanya Nabi swt. memerintakan untuk menggantungkan cambuk di dalam rumah. Diriwayat oleh “abdurrazzaq bahwasanya gantunglah cambuk ditempat yang dapat dilihat oleh anggota keluarga agar mereka menurut. 

2.    Tahap kedua : menjewer daun telinga. Ini adalah hukuman fisik yang pertama untuk anak. Anak mulai mengenali kepedihan akibat melakukan kesalahan, yaitu telinganya dijewer. 

3.    Tahap ketiga : Memukul anak

Jika kedua cara yaitu memperlihatkan tongkat atau cambuk dan menjewer tidak efektif untuk mendisiplinkan perilaku dan anak terus mengulanginya maka lakukan tahap ketiga ini. Namun perlu diingat pemberikan pukulan kepada anak ada kaidahnya. Pahami dengan seksama kaidah berikut:

  • Pertama, dimulai dari usia sepuluh tahun lebih baik mundur diusia tiga belas tahun. Jika anak belum mencapai tersebut lakukan cara-cara sebelumnya dengan teliti dan penuh kesabaran. Kita pahami memukul anak dapat merusak otak dan psikologisnya bahkan banyuak memukul menjadikan anak kebal tehadap pukulan. Oleh karena itu hukuman harus diberikan dengan hati-hati bukan untuk melampiaskan kemarahan orang tua. Pukulan untuk pengajaran sama halnya dengan garam untuk makanan. Sedikit garam yang ditaburkan pada makanan dapat memberikan rasa yang lezat. Dalam hal Pendidikan yang dibutukan adalah pukulan dalam jumlah sedikit.
  • Kedua, pukulan tidak lebih dari 10 kali.
  • Ketiga, ciri-ciri alat untuk memukul, yaitu bentuknya sedang, antara ranting dan tongkat. Kelembannya sedang yaitu tidak terlalu basah agar tidak melukai kulit dan tidak telalui kering agar tidak menyakitkan karena terlalu ringkan. Jenis apapun bisa dipakai seperti kulit, akar, kayu, sandal, kain yang dipilin dll.
  • Keempat, cara memukul dilakukan dengan kekuatan sedang, menyebar, tidak dilakukan di satu tempat. Antara dua pukulan beruntun, harus ada jeda waktu agar rasa sakit dari pukulan pertama mereda. Pemukul tidak boleh menganggat cambuknya tinggi sampai telihat ketiak, agar tidak menyakitkan.
  • Kelima, tempat yang disarankan dipukul yaitu kedua kaki dan tangan, hindari area wajah, kemaluan dan kepala.
  • Keenam, tidak boleh memukul disertai amarah.
  • Ketujuh, berhentilah memukul bila anak menyebut nama Allah. Disini terdapat pelajaran bahwa anak sudah menyadari kesalahannya atau tidak sanggup menahan rasa sakit atau merasa sangat ketakutan.

Jika kita sebagai orang tua atau pengajar yang melakukan hukuman fisik melebih pedoman yang disampaikan diatas bisa dianggap sebagai kejahatan dalam Pendidikan anak dan termasuk kedalam orang yang zalim.  Semoga kita menjadi orang tua yang terus memperbaiki, mengintrospeksi diri dan melembutkan hati kita untuk mengasuh anak-anak kita sesuai dengan Al-qu’an dan hadis. Semoga anak kita semua memiliki akhlak mulia seperti baginda Rasulullah SAW. Amin.

Tanamkan didalam hati bahwa parenting itu bukan ilmu memperbaiki anak tapi ilmu belajar menjadi orang tua yang baik, ilmu belajar memperbaiki diri bagi orang tua. Dengan begitu mindset didalam diri kita tidak pernah menyalah anak namun selalu bermuhasabah.  

Menghukum anak itu boleh namun alangkah baiknya diundur bahkan ditiadakan. Karena nabi mencontohkan untuk berlemah-lembut kepada anak. Namun, ada takdir Allah yang menganugerahkan orang tua dengan anak yang berkarakter sulit diatur maka Allah berikan solusi pemberian hukuman dalam mendidik anak. Sebagai orang tua mari taati pedoman tersebut agar anak kita tumbuh dengan akhlak yang mulia. 

Ya Allah, berikanlah kami taufik dan hidayah-Mu agar dapat menghukm anak-anak kami sesuai dengan cara yang Engkau Ridhai.

 

Referensi Bacaan:

Suwaid, M,N,A,H. Prophetic Parenting: Cara Nabi Mendidik Anak. Yogyakarta: Pro-U Media, 2010.

 

Menjadi Pelacur: Terpaksa atau Dipaksa

April 28, 2025 Add Comment

 Penulis : Yuni Kartika, S.Psi., M.A

 


Selama ini saya menutup mata dengan fenomena Pelacuran atau bahasa indahnya kupu-kupu malam. Saya mengira pelacuran adalah keputusan maaf “bodoh” yang diambil seorang Perempuan. Kenyataannya hanya hati saya yang tertutup dan memandang sebelah mata profesi ini. Pemahaman saya terbuka setelah membaca buku karya Wahyudin yang berjul “Pengakuan Pelacur Jogja”. Buku tersebut adalah karya yang sangat komprehensif karena penulis turun langsung kelapangan melihat lokasi dan mewawancari beberapa wanita yang menggeluti profesi ini.

Ada beberapa point yang saya rangkum setelah membaca buku tersebut. Pertama, kebanyakan pelacur adalah Ibu Rumah Tangga. Hati saya rasanya teriris mengetahui fakta ini. Mengingat saya juga adalah ibu rumah tangga. Saya paham betul beban sebagai ibu rumah tangga. Mengurus suami, mengasuh anak, mengurus rumah tangga. Sebuah rutinitas yang terjadi setiap hari tanpa bisa menolak kejenuhannya. Beberapa perempuan merasa tidak punya skill yang dibanggakan untuk mendapat pekerjaan layak sehingga mereka menggantungkan hidup kepada suami. Namun saat suami terkena masalah ekonomi perempuan menjadi ikut terpuruk dengan alasan ada anak yang mesti sekolah, ada kebutuhan makan, ada cicilan mesti dibayar. Keadaan ini memaksa mereka ikut mencari nafkah.

Banyak faktor penyebab salah satunya adalah relasi pertemanan yang kurang baik membuat dunia pelacuran menjari satu-satunya alternatif pilihan mencari uang. Akhirnya terjebak, ketergantungan dan pasrah memohon pertolongan dari YME. Faktor resilient yang kurang terbangun, membuat para wanita kurang cakap untuk bertahan dalam situasi sulit  dan memutuskan mengambil jalan pintas untuk mencapai keberhasilan.

Kedua, ternyata yang menggunakan jasa mereka diantaranya adalah para pejabat kaya, punya profesi disegani rakyat. Kenyataan, mereka yang ikut merusak harkat dan martabat para wanita. Membuat wanita terus tergantung dengan pekerjaan ini. Membuat laki-laki menjadi kecanduan dengan jasanya. Yang baik dipermukaan belum tentu mulia. Yang kotor dipermukaan belum tentu hina.

Ketiga, Profesi pelacur bisa menjadi objek dan bisa menjadi subjek. Objek bagi para penikmatnya jasanya. Namun menjadi subjek untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat. Pelajarannya adalah berhati-hatilah dalam memandang sesuatu. Kita sebagai manusia yang mendapat keberuntungan dengan pekerjaan lain yang bebas streotipe hina, kotor dan sampah Masyarakat lebih mawas diri dalam berucap, bersikap dan berperilaku terhadap orang lain dengan profesi apa saja.

Dalam perspektif pelacur sendiri, mereka merasa selama ini pendekatannya hanyalah preventif, yang mereka butuhkan adalah solusi. Mereka ingin diberi pekerjaan, mereka ingin digaji layak, mereka ingin tidak ada persyaratan yang memberatkan dalam mencari kerja. Mereka ingin bersih, mereka ingin hidup sehat dan normal.

Jika pembaca artikel ini adalah seorang laki-laki, saya ingin menyampaikan bahwa sebelum perempuan menikah kebebasan ada ditangannya sendiri. Mereka memutuskan untuk membatasi hidup mereka demi ta’at kepada suami, demi anak yang butuh kehadiran ibunya. Namun, jangan gunakan kesempatan ini untuk mendzalimi perempuan dengan tidak ikut terlibat dalam urusan rumah tangga. Membiarkan perempuan mengasuh anak siang dan malam, menganggap mereka berkewajiban menyapu, mengepel, mencuci, memasak dll. Menikah adalah kerjasama antara suami istri membangun keseimbangan. Jika ada satu pihak yang merasa lebih berat bebannya maka sudah seharusnya membantu meringankan beban tersebut agar rumah tangga Kembali seimbang lagi. Mari bangun work-life balace dengan baik.

 

Referensi Bacaan.

Wahyudin. 2022. Pengakuan Pelacur Jogja. Yogyakarta : Lappera Pustaka