April 28, 2025 Add Comment

 

Menjadi Pelacur: Terpaksa atau Dipaksa

Penulis : Yuni Kartika, S.Psi., M.A

Penulis, Dosen

 


Selama ini saya menutup mata dengan fenomena Pelacuran atau bahasa indahnya kupu-kupu malam. Saya mengira pelacuran adalah keputusan maaf “bodoh” yang diambil seorang Perempuan. Kenyataannya hanya hati saya yang tertutup dan memandang sebelah mata profesi ini. Pemahaman saya terbuka setelah membaca buku karya Wahyudin yang berjul “Pengakuan Pelacur Jogja”. Buku tersebut adalah karya yang sangat komprehensif karena penulis turun langsung kelapangan melihat lokasi dan mewawancari beberapa wanita yang menggeluti profesi ini.

Ada beberapa point yang saya rangkum setelah membaca buku tersebut. Pertama, kebanyakan pelacur adalah Ibu Rumah Tangga. Hati saya rasanya teriris mengetahui fakta ini. Mengingat saya juga adalah ibu rumah tangga. Saya paham betul beban sebagai ibu rumah tangga. Mengurus suami, mengasuh anak, mengurus rumah tangga. Sebuah rutinitas yang terjadi setiap hari tanpa bisa menolak kejenuhannya. Beberapa perempuan merasa tidak punya skill yang dibanggakan untuk mendapat pekerjaan layak sehingga mereka menggantungkan hidup kepada suami. Namun saat suami terkena masalah ekonomi perempuan menjadi ikut terpuruk dengan alasan ada anak yang mesti sekolah, ada kebutuhan makan, ada cicilan mesti dibayar. Keadaan ini memaksa mereka ikut mencari nafkah.

Banyak faktor penyebab salah satunya adalah relasi pertemanan yang kurang baik membuat dunia pelacuran mencari satu-satunya alternatif pilihan mencari uang. Akhirnya terjebak, ketergantungan dan pasrah memohon pertolongan dari YME. Faktor resilient yang kurang terbangun, membuat para wanita kurang cakap untuk bertahan dalam situasi sulit dalam jangka waktu tertenu hingga mencapai keberhasilan.

Kedua, ternyata yang menggunakan jasa mereka diantaranya adalah para pejabat kaya, punya profesi disegani rakyat. Kenyataan, mereka yang ikut merusak harkat dan martabat para wanita. Membuat wanita terus tergantung dengan pekerjaan ini. Membuat laki-laki menjadi kecanduan dengan jasanya. Yang baik dipermukaan belum tentu mulia. Yang kotor dipermukaan belum tentu hina.

Ketiga, Profesi pelacur bisa menjadi objek dan bisa menjadi subjek. Objek bagi para penikmatnya jasanya. Namun menjadi subjek untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat. Pelajarannya adalah berhati-hatilah dalam memandang sesuatu. Kita sebagai manusia yang mendapat keberuntungan dengan pekerjaan lain yang bebas streotipe hina, kotor dan sampah Masyarakat lebih mawas diri dalam berucap, bersikap dan berperilaku terhadap orang lain dengan profesi apa saja.

Dalam perspektif pelacur sendiri, mereka merasa selama ini pendekatannya hanyalah preventif, yang mereka butuhkan adalah solusi. Mereka ingin diberi pekerjaan, mereka ingin digaji layak, mereka ingin tidak ada persyaratan yang memberatkan dalam mencari kerja. Mereka ingin bersih, mereka ingin hidup sehat dan normal.

Jika pembaca artikel ini adalah seorang laki-laki, saya ingin menyampaikan bahwa sebelum Perempuan menikah kebebasan ada ditangannya sendiri. Mereka memutuskan untuk membatasi hidup mereka demi ta’at kepada suami, demi anak yang butuh kehadiran ibunya. Namun, jangan gunakan kesempatan ini untuk mendzalimi perempuan dengan tidak ikut terlibat dalam urusan rumah tangga. Membiarkan perempuan mengasuh anak siang dan malam, menganggap mereka berkewajiban menyapu, mengepel, mencuci, memasak dll. Menikah adalah kerjasama antara suami istri membangun keseimbangan. Jika ada satu pihak yang merasa lebih berat bebannya maka sudah seharusnya membantu meringankan beban tersebut agar rumah tangga Kembali seimbang lagi. Mari bangun work-life balace dengan baik.

 

Referensi Bacaan.

Wahyudin. 2022. Pengakuan Pelacur Jogja. Yogyakarta : Lappera Pustaka